Sabtu, 01 Januari 2011

Suharto dan Tujuh Jenderal Korban G30S

Penulis : Harsutejo


PERTAMA-TAMA perlu kita simak bagaimana hubungan Mayjen Suharto dengan ketujuh
jenderal rekannya yang kemudian menjadi target pembunuhan G30S. Menurut Letkol
Untung mereka tergabung dalam Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap
Presiden Sukarno. Jenderal Nasution luput dari percobaan penculikan dan
pembunuhan, sedang enam jenderal yang lain yang terbunuh, Letjen Ahmad Yani,
Mayjen Suprapto, Mayjen S Parman, Mayjen Haryono MT, Brigjen Sutoyo, Brigjen
Panjaitan.


Ketika Kolonel Suharto menjabat sebagai Panglima Diponegoro, ia dikenal sebagai
sponsor penyelundupan dan berbagai tindak pelanggaran ekonomi lain dengan dalih
untuk kesejahteraan anak buahnya. Suharto membentuk geng dengan sejumlah
pengusaha seperti Lim Siu Liong, Bob Hasan, dan Tek Kiong, konon masih saudara
tirinya. Dalam hubungan ini Kolonel Suharto dibantu oleh Letkol Munadi, Mayor
Yoga Sugomo, dan Mayor Sujono Humardani. Komplotan bisnis ini telah bertindak
jauh antara lain dengan menjual 200 truk AD selundupan kepada Tek Kiong.


Persoalannya dilaporkan kepada Letkol Pranoto Reksosamudro yang ketika itu
menjabat sebagai Kepala Staf Diponegoro, bawahan Suharto. Maka MBAD membentuk
suatu tim pemeriksa yang diketuai Mayjen Suprapto dengan anggota S Parman, MT
Haryono, dan Sutoyo. Langkah ini diikuti oleh surat perintah Jenderal Nasution
kepada Jaksa Agung Sutarjo dalam rangka pemberantasan korupsi untuk menjemput
Kolonel Suharto agar dibawa ke Jakarta pada 1959. Ia akhirnya dicopot sebagai
Panglima Diponegoto dan digantikan oleh Pranoto. Kasus Suharto tersebut akhirnya
dibekukan karena kebesaran hati Presiden Sukarno (D&R, 3 Oktober 1998:18).


Nasution mengusulkan agar Suharto diseret ke pengadilan militer, tetapi tidak
disetujui oleh Mayjen Gatot Subroto. Kemudian ia dikirim ke Seskoad di Bandung.
Suharto sendiri dalam otobiografinya mencatat persoalan itu sebagai menolong
rakyat Jawa Tengah dari kelaparan, maka ia mengambil prakarsa untuk melakukan
barter gula dengan beras dari Singapura (Soeharto 1989:92). Ia tidak menyinggung
sama sekali adanya tim penyelidik dari MBAD. Selanjutnya ketika Suharto hendak
ditunjuk sebagai Ketua Senat Seskoad, hal itu ditentang keras oleh Brigjen
Panjaitan dengan alasan moralitas (Detak, 5 Oktober 1998:5), artinya moral
Suharto sebagai manusia, apalagi sebagai prajurit, tidak dapat
dipertanggungjawabkan.


Silang pendapat dengan Jenderal Yani lebih serius, hal itu bersangkutan dengan
bagaimana seharusnya peranan Kostrad dengan merujuk sejarah Kostrad (Crouch 1999:104).
Demikianlah sedikit banyak Suharto memiliki pengalaman pribadi yang tidak
menyenangkan dengan ke tujuh rekannya tersebut dalam perjalanan kariernya.
Selama 32 tahun kekuasaannya para anggota geng Suharto mendapatkan tempat
terhormat yang setimpal, sebaliknya dengan lawan-lawannya termasuk Jenderal
Nasution setelah dicopot sebagai ketua MPRS dan juga dengan Mayjen Pranoto yang
kemudian ditahan bertahun-tahun tanpa proses. Perkembangan sejarah menunjukkan
bahwa Suharto benar-benar tidak ?sebodoh? yang diperkirakan Jenderal Nasution,
juga tidak sekedar koppig seperti yang disebut oleh Bung Karno.


Jenderal Suharto dan Jenderal Suwarto


Di Bandung Kolonel Suharto bertemu dengan Kolonel Suwarto, Wadan Seskoad, hal
ini sangat berpengaruh terhadap perjalanan hidup Suharto selanjutnya. Sekolah
Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung yang telah berdiri sejak 1951 ini
merupakan sebuah think tank AD, pendidikan militer Indonesia tertua, terbesar
dan paling berpengaruh. Seskoad telah menjadi tempat penggodogan perkembangan
doktrin militer di Indonesia. Sampai 1989 telah meluluskan 3500 perwira. Para
alumninya menjadi tokoh terkemuka dalam pemerintahan. Hampir 100 orang menjadi
sekretaris jenderal, gubernur, pimpinan lembaga-lembaga nasional atau badan-badan
non departemental. Presiden, Wakil Presiden, dan lebih 30 menteri merupakan
alumni Seskoad.


Suwarto sendiri pernah menempuh pendidikan Infantry Advance Course di Fort
Benning pada 1954 dan Command and General Staff College di Fort Leavenworth, AS
pada 1958. Ia bersahabat dengan Prof Guy Pauker, konsultan RAND (Research and
Development Corporation) yang dikunjunginya pada 1963 dan 1966. Suwartolah yang
menjadikan Seskoad sebagai think tank politik MBAD, mengarahkan para perwira AD
menjadi pemimpin politik potensial (Sundhaussen 1988:245).


Seskoad memancarkan pamornya sebagian besar karena jasa Suwarto, sangat besar
perannya dalam perkembangan politik. Karena jasanya pula maka Seskoad menjadi
pusat pemikiran politik serta menghadapi perkembangan PKI (Hidayat Mukmin 1991:125).
Guy Pauker adalah pengamat masalah Asia, orang penting dalam Rand Corporation,
kelompok pemikir (think tank) CIA*. Sejak itu Seskoad biasa disebut sebagai
negara dalam negara, membuat garis politiknya sendiri, bahkan mempunyai
perjanjian kerjasama dan bantuan dari AS terlepas dari politik pemerintah RI.


Suharto, murid baru yang masuk pada Oktober 1959 ini telah mendapatkan perhatian
besar dari sang guru. Pada awal 1960-an Suharto dilibatkan dalam penyusunan
Doktrin Perang Wilayah serta dalam kebijaksanaan AD dalam segala segi kegiatan
pemerintah dan tugas kepemerintahan. Peran Suharto dalam civic mission
menempatkan dirinya dan sejumlah opsir yang condong pada PSI dalam pusat
pendidikan dan pelatihan yang disokong oleh CIA lewat pemerintah AS, suatu
program bersifat politik (Scott 1999:81). Pada masa Bandung Kolonel Suharto
inilah agaknya hubungan Suwarto-Syam-Suharto-CIA mendapatkan dimensi baru (Hanafi
1998:20-25).


Penyempurnaan Doktrin Perang Wilayah dan civic mission menjadi suatu doktrin
strategis intervensi politik AD menjelang 1965, suatu proses ideologis
mempersiapkan dan mematangkan AD dalam melakukan pengoperan kekuasaan.
Perkembangan selanjutnya, Jenderal Suwarto menjadi orang penting sebagai
penasehat politik Jenderal Suharto. Doktrin tersebut yang mewarnai pernyataan
Jenderal Suharto pada 16 Agustus 1966 untuk memenuhi desakan Pauker bahwa AD
harus memainkan peran kepeloporan di semua bidang (Scott 1999:82).


Dalam sambutannya ketika melantik Letjen Panggabean menjadi Wapangad pada hari
tersebut, Jenderal Suharto mengatakan bahwa pengesahan Supersemar oleh MPRS
berarti penugasan pemerintahan dengan ruang lingkup luas. Hal itu merupakan
penghargaan dan kepercayaan kepada ABRI umumnya dan AD khususnya. Doktrin Tri
Ubaya Cakti yang telah menegaskan tuntutan AD untuk memiliki peran politik
mandiri disusun kembali oleh Jenderal Suwarto dan mengenai peran AD ditegaskan
lebih lanjut seperti penekanan Pauker dalam peran kontra revolusionernya (Scott
1999:82-83). Dengan belajar dari Rand Corporation kemudian Ali Murtopo cs dengan
restu Suharto mendirikan lembaga kajian yang disebut CSIS (Centre for Strategic
and International Studies) sebagai think tank Orde Baru. (Bersambung)

* Rand Corporation didirikan pada 1948, mula-mula sebagai think tank AU Amerika
(USAF) kemudian meluas bagi pemerintah AS. Kajian yang dilakukannya di samping
masalah-masalah militer juga meliputi masalah politik, sosial, ekonomi, budaya,
hubungan internasional, kekuatan-kekuatan lokal-regional-global. Kaki mereka
berpijak pada pemerintah AS (CIA), lembaga pendidikan tinggi, dan perusahaan-perusahaan
industri raksasa. Badan ini melakukan kontak dan hubungan informal termasuk
dengan Seskoad di Bandung (Lihat Harry Tjan Silalahi ?Think Tank? dalam CSIS
Sekar Semerbak, Kenangan Untuk Ali Moertopo, Yayasan Proklamasi CSIS, Jakarta,
1985:334-341).

Sumber ip : Rakyat Merdeka, Rabu, 17 Mei 2006, dari Serie, Jejak Hitam Suharto.
Penulis : Harsurejo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar