Den Haag-- Sejarawan-potret telah menemukan foto-foto yang belum diketahui dan yang mengerikan tentang pembunuhan orang-orang komunis Indonesia di dekat Madiun (Jawa) setelah pemberontakan mereka dalam tahun 1948 melawan pemerintahan Soekarno.Dua belas lembar gambar-gambar hitam-putih itu menunjukkan fase-fase suatu pembunuhan yang dilakukan oleh tentara Indonesia (TNI). Anggota-anggota Partai Komunis Indonesia yang diikat dengan tambang di interrogasi, diceburkan kedalam sumur dan dibunuh dengan tusukan-tusukan bayonet di punggung. Republik Indonesia yang masih muda itu tidak saja melakukan perang kemerdekaan melawan Belanda, tetapi juga melakukan perang dalam negeri melawan kaum komunis dan orang-orang muslim kanan Darul Islam. menemukan foto-foto yang tidak pernah diterbitkan itu ketika dia menyelidiki arsip Departemen Fotografi dan Film tentara Belanda. Foto-foto tersebut disimpan dalam bentuk negatif di , dengan catatan yang berbunyi: kata . ".. /Saya tertarik pada pengaruh gambar-gambar ini terhadap peristiwa-pertistiwa tertentu. Misalnya tentang pembunuhan besar.-besaran di desa My Lai di Vietnam oleh militer AS pada tgl. 16 Mai 1968. Foto-foto yang diambil oleh juru-potret Amerika Ronald Haeberle itu diterbitkan hanya dalam tahun 1969 tetapi kemudian gambar itu menimbulkan lebih banyak pergolakan daripada teks yang berlimpah-limpah tentang perang di Vietnam".Penyelidikan oleh dimulai tahun lalu untuk bukunya - yang telah diterbitkan bulan Desember lalu. juga menemukan sebuah catatan intern tentang foto-foto dari jawatan informasi pemerintah Belanda. Sebagai pegawai jawatan ini, H. Leopold ketika membuat laporan tentang aksi polisionil ke dua dalam bulan Desember 1948 menulis, bahwa wartawan Zandstra yang bekerja untuk koran "De Lokomotief" yang telah menemukan gambar-gambar itu. "Foto-foto tersebut kemudian segera dikirim ke Batavia". Leopold menulisnya pada hari Natal pertama tahun 1948. menduga, redaktur-kepala AW Colijn telah memberikan gambar-gambar itu kepada Koenders, kepala relation-office tentara Belanda. Editor Zandstra menemukan gambar-gambar, yang dibuat oleh seorang juru-potret Indonesia, pada waktu Belanda menduduki Yogya.Mengapa gambar-gambar itu tidak pernah diterbitkan? "Barangkali Belanda khawatir foto-foto itu akan memperkuat imej (image) Soekarno dimata Amerika dengan foto-foto "sikap keras" nya terhadap kaum komunis". Pada waktu itu pendapat umum di Amerika, pada awal perang dingin, mungkin menginginkan sikap ini. Motif lain, mungkin adanya pembatasan-pembatasan ethis tentang foto-foto yang menunjukkan kekejaman.Pada tanggal 20 Desember 1948, pada awal Ofensif ke dua Belanda melawan Indonesia, lebih dari 50 tahanan terkemuka komunis telah dibunuh oleh tentara Indonesia. Di antara mereka, anggota-anggota PKI mantan Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin, serta mantan Wakil Perdana Menteri S. Setiadjit. Setelah pemberontakan PKI pada 18 September 1948, Republik Indonesia telah menangkapi puluhan ribu kaum komunis serta membunuhnya, kemungkinan 8000 diantara mereka, Dalam tahun 1965, tujuh belas tahun kemudian, bukan di bawah Soekarno tetapi di bawah pemerintahan Suharto, ratusan ribu kaum komunis telah ditindak.
Terima kasih buat teman yang udah mau mampir ke blog ini...Jadikanlah Blog sarana tempat belajar dan tempat untuk sharing ilmu....Mari bersama-sama kita ciptakan suatu perubahan dengan kecerdasan.
Sabtu, 01 Januari 2011
Inggris Ikut Jatuhkan SOEKARNO
London, Minggu
Media massa Inggris secara sistematis telah dimanipulir oleh pihak intelijen,
sebagai bagian dari persekongkolan untuk mendongkel Presiden Soekarno. Stasiun
radio BBC, harian Observer dan kantor berita Reuters telah dimanfaatkan oleh
para agen rahasia yang bekerja untuk Deplu Inggris.
Hari Sabtu (15/4) malam, Denis Healey yang di era 1960-an itu menjadi Menteri
Perburuhan Inggris, mengakui, perang intelijen yang dilancarkan terhadap
Indonesia telah ke luar batas. Pada suatu ketika Pemerintah Inggris memproduksi
dokumen-dokumen palsu yang mengabarkan ada serdadu-serdadu Inggris yang tewas di
Indonesia.
Akibat informasi salah itu, Healey bahkan sampai-sampai ikut menahan jangan
sampai angkatan perang melancarkan aksi militer di Indonesia. "Saya tidak akan
membiarkan angkatan udara menjatuhkan bom, meskipun mereka sudah bernafsu
melakukannya," kata Healey.
Sebuah dokumen Deplu Inggris mengungkapkan bagaimana penipuan itu dilakukan
secara meluas dari London, dan bagaimana pers dunia ternyata dimanipulir oleh
intelijen Inggris.
Sebuah surat bersifat "rahasia dan pribadi" pernah dikirimkan dari ahli
propaganda Norman Reddaway kepada Dubes Inggris di Jakarta, Sir Andrew Gilchrist.
Isi surat merupakan rencana membohongi pers, seolah-olah perlu mendongkel
Soekarno karena dia akan menjadikan Indonesia sebagai negara komunis.
"Sebuah berita palsu beredar ke seluruh dunia. Informasi dari Gilchrist langsung
diberitakan kembali ke Indonesia melalui stasiun radio BBC," kata Reddaway.
Termasuk dalam berita palsu ini adalah bagaimana diberitakan ke seluruh dunia
bahwa komunis di Indonesia berencana akan membunuh habis penduduk Jakarta.
"Saya penasaran apakah ini pertama kalinya seorang duta besar bertindak semaunya
dan begitu cepat, untuk bangsanya sendiri," kata Reddaway, yang waktu itu
bekerja sebagai ahli untuk Departemen Riset Informasi (IRD), Deplu Inggris.
Berita palsu
Menurut sejumlah dokumen kabinet, sejumlah institusi Inggris-termasuk dinas
rahasia MI6-memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok di Indonesia untuk
mendongkel Bung Karno. Salah satu dokumen berisi permintaan dari pemerintah
kepada Kepala MI6, Dick White, untuk menyiapkan rencana operasi-operasi rahasia
di Indonesia bulan Januari 1964.
Menurut David Easter, sejarawan dari London Scholl of Economics yang meneliti
soal ini, salah satu dokumen menyebut operasi rahasia itu mencakup juga bentuan
senjata untuk kelompok separatis di Aceh dan Sulawesi. (The Independent/bas)
The Independent [UK]
16 April 2000
How we lied to put a killer in power
Revealed: Healey admits role in British dirty tricks campaign to overthrow
Indonesia?s President Sukarno
By Paul Lashmar and James Oliver
The world?s press was systematically manipulated by British intelligence as part
of a plot to overthrow Indonesia?s President Sukarno in the 1960s, according to
Foreign Office documents. he BBC, the Observer and Reuters news agency were all
duped into carrying stories manufactured by agents working for the Foreign
Office.
Last night, Denis Healey, Labour?s defence secretary at the time, admitted the
intelligence war had spun out of control in Indonesia. At one point the British
were planting false documents on dead soldiers. Lord Healey even had to stop
service chiefs from taking military action. He said: "I would not let the RAF
drop a single bomb although they were very anxious to get involved."
The left-leaning Sukarno was overthrown in 1966 and up to half a million people
were massacred by the new regime. Now a Foreign Office document obtained by the
Independent on Sunday reveals the full extent of the "dirty tricks" campaign
orchestrated from London, and how the world?s journalists were manipulated.
A letter marked "secret and personal" from propaganda expert Norman Reddaway to
Britain?s Jakarta ambassador, Sir Andrew Gilchrist, brags about the campaign
which aimed to destabilise Mr Sukarno by suggesting his rule would lead to a
communist takeover. One story "went all over the world and back again", writes
Reddaway, while information from Gilchrist was "put almost instantly back into
Indonesia via the BBC".
This included an allegation, with no apparent basis in reality, that Indonesian
communists were planning to slaughter the citizens of Jakarta.
Reddaway, a specialist with the FO?s Information Research Department (IRD),
writes: "I wondered whether this was the first time in history that an
ambassador had been able to address the people of his country of work almost at
will and virtually instantaneously."
Showing his low opinion of journalists, he boasts that "newsmen would take
anything from here, and pestered us for copy". He had been sent to Singapore to
bolster British efforts to overthrow the Indonesian president and support
General Suharto. His brief from London had been "to do whatever I could do to
get rid of Sukarno", he revealed before his death last year. He therefore
embarked on an extensive campaign of placing favourable stories with news wires,
foreign correspondents and the BBC, and also used the pages of Encounter, an
influential magazine for the liberal intelligentsia which, it later emerged, had
been funded and controlled by the CIA.
His letter even suggests that the Observer newspaper had been persuaded to take
the Foreign Office "angle" on the Indonesian takeover by reporting a "kid glove
coup without butchery".
Last month, Abdurrahman Wahid, the country?s current president, gave his support
to a judicial inquiry into the massacres of 1965-66 and, in an interview
broadcast on state television, promised to punish those found guilty.
Newly discovered cabinet papers show that British agencies, including MI6, had
supported Islamic guerrillas and other dissident groups in an effort to
destabilise Sukarno. The disorder fostered by the British led to General Suharto?s
takeover and dictatorship, and a wave of violence unseen since the Second World
War. The massacre set the stage for almost 35 years of violent suppression,
including the 1975 invasion of East Timor, which was only reversed last year.
The cabinet documents (which are separate from the revelations of Reddaway) were
uncovered by David Easter, a historian at the London School of Economics. His
research ? which is published this week in the journal Intelligence and National
Security ? shows that the cabinet?s defence and overseas policy committee asked
the head of MI6, Dick White, to draw up plans for covert operations against
Indonesia in January 1964. According to Dr Easter, these operations began in the
spring of that year and included supplying arms to separatists in the Indonesian
provinces of Aceh and Sulawesi.
These actions were complemented by a propaganda campaign run out of Britain?s
Far East HQ in Singapore by the IRD, which had close connections with MI6. The
unit was behind stories that Sukarno and his tolerance of the Indonesian
Communist Party (PKI) would lead to a communist dictatorship in Indonesia.
Reddaway was a key part of this. His letter, written in July 1966, was released
to Churchill College, Cambridge, which holds the private papers of Sir Andrew
Gilchrist.
Last night, Lord Healey owned up to the Foreign Office misinformation campaign.
Lord Healey said: "Norman Reddaway had an office in Singapore. They began to put
out false information and I think that, to my horror on one occasion, they put
forged documents on the bodies of Indonesian soldiers we had taken. I confronted
Reddaway over this.
"The key thing here is that Indonesia was infiltrating its troops into Borneo
and had organised a coup against the Sultan of Brunei with whom we had a treaty.
So we reacted similarly. I think it has been long known that British Special
Forces ? the SAS, SBS and Gurkhas ? were used to tackle the Indonesians. But
everything was done on the ground. I would not let the RAF drop a single bomb
although they were very anxious to get involved."
Lord Healey denied any personal knowledge of the wider MI6 campaign to arm
opponents of Sukarno. But, he added: "I would certainly have supported it."
According to one of the country?s leading commentators on security matters ?
Richard Aldrich, a professor at Nottingham University ?the episode shows Britain?s
post-war operations at their most effective. "It represents one of the supreme
achievements of the British clandestine services," he said. "In contrast with
the American CIA, they remained politically accountable and low-key. Britain has
a preference for bribingpeople rather than blowing them up."
Media massa Inggris secara sistematis telah dimanipulir oleh pihak intelijen,
sebagai bagian dari persekongkolan untuk mendongkel Presiden Soekarno. Stasiun
radio BBC, harian Observer dan kantor berita Reuters telah dimanfaatkan oleh
para agen rahasia yang bekerja untuk Deplu Inggris.
Hari Sabtu (15/4) malam, Denis Healey yang di era 1960-an itu menjadi Menteri
Perburuhan Inggris, mengakui, perang intelijen yang dilancarkan terhadap
Indonesia telah ke luar batas. Pada suatu ketika Pemerintah Inggris memproduksi
dokumen-dokumen palsu yang mengabarkan ada serdadu-serdadu Inggris yang tewas di
Indonesia.
Akibat informasi salah itu, Healey bahkan sampai-sampai ikut menahan jangan
sampai angkatan perang melancarkan aksi militer di Indonesia. "Saya tidak akan
membiarkan angkatan udara menjatuhkan bom, meskipun mereka sudah bernafsu
melakukannya," kata Healey.
Sebuah dokumen Deplu Inggris mengungkapkan bagaimana penipuan itu dilakukan
secara meluas dari London, dan bagaimana pers dunia ternyata dimanipulir oleh
intelijen Inggris.
Sebuah surat bersifat "rahasia dan pribadi" pernah dikirimkan dari ahli
propaganda Norman Reddaway kepada Dubes Inggris di Jakarta, Sir Andrew Gilchrist.
Isi surat merupakan rencana membohongi pers, seolah-olah perlu mendongkel
Soekarno karena dia akan menjadikan Indonesia sebagai negara komunis.
"Sebuah berita palsu beredar ke seluruh dunia. Informasi dari Gilchrist langsung
diberitakan kembali ke Indonesia melalui stasiun radio BBC," kata Reddaway.
Termasuk dalam berita palsu ini adalah bagaimana diberitakan ke seluruh dunia
bahwa komunis di Indonesia berencana akan membunuh habis penduduk Jakarta.
"Saya penasaran apakah ini pertama kalinya seorang duta besar bertindak semaunya
dan begitu cepat, untuk bangsanya sendiri," kata Reddaway, yang waktu itu
bekerja sebagai ahli untuk Departemen Riset Informasi (IRD), Deplu Inggris.
Berita palsu
Menurut sejumlah dokumen kabinet, sejumlah institusi Inggris-termasuk dinas
rahasia MI6-memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok di Indonesia untuk
mendongkel Bung Karno. Salah satu dokumen berisi permintaan dari pemerintah
kepada Kepala MI6, Dick White, untuk menyiapkan rencana operasi-operasi rahasia
di Indonesia bulan Januari 1964.
Menurut David Easter, sejarawan dari London Scholl of Economics yang meneliti
soal ini, salah satu dokumen menyebut operasi rahasia itu mencakup juga bentuan
senjata untuk kelompok separatis di Aceh dan Sulawesi. (The Independent/bas)
The Independent [UK]
16 April 2000
How we lied to put a killer in power
Revealed: Healey admits role in British dirty tricks campaign to overthrow
Indonesia?s President Sukarno
By Paul Lashmar and James Oliver
The world?s press was systematically manipulated by British intelligence as part
of a plot to overthrow Indonesia?s President Sukarno in the 1960s, according to
Foreign Office documents. he BBC, the Observer and Reuters news agency were all
duped into carrying stories manufactured by agents working for the Foreign
Office.
Last night, Denis Healey, Labour?s defence secretary at the time, admitted the
intelligence war had spun out of control in Indonesia. At one point the British
were planting false documents on dead soldiers. Lord Healey even had to stop
service chiefs from taking military action. He said: "I would not let the RAF
drop a single bomb although they were very anxious to get involved."
The left-leaning Sukarno was overthrown in 1966 and up to half a million people
were massacred by the new regime. Now a Foreign Office document obtained by the
Independent on Sunday reveals the full extent of the "dirty tricks" campaign
orchestrated from London, and how the world?s journalists were manipulated.
A letter marked "secret and personal" from propaganda expert Norman Reddaway to
Britain?s Jakarta ambassador, Sir Andrew Gilchrist, brags about the campaign
which aimed to destabilise Mr Sukarno by suggesting his rule would lead to a
communist takeover. One story "went all over the world and back again", writes
Reddaway, while information from Gilchrist was "put almost instantly back into
Indonesia via the BBC".
This included an allegation, with no apparent basis in reality, that Indonesian
communists were planning to slaughter the citizens of Jakarta.
Reddaway, a specialist with the FO?s Information Research Department (IRD),
writes: "I wondered whether this was the first time in history that an
ambassador had been able to address the people of his country of work almost at
will and virtually instantaneously."
Showing his low opinion of journalists, he boasts that "newsmen would take
anything from here, and pestered us for copy". He had been sent to Singapore to
bolster British efforts to overthrow the Indonesian president and support
General Suharto. His brief from London had been "to do whatever I could do to
get rid of Sukarno", he revealed before his death last year. He therefore
embarked on an extensive campaign of placing favourable stories with news wires,
foreign correspondents and the BBC, and also used the pages of Encounter, an
influential magazine for the liberal intelligentsia which, it later emerged, had
been funded and controlled by the CIA.
His letter even suggests that the Observer newspaper had been persuaded to take
the Foreign Office "angle" on the Indonesian takeover by reporting a "kid glove
coup without butchery".
Last month, Abdurrahman Wahid, the country?s current president, gave his support
to a judicial inquiry into the massacres of 1965-66 and, in an interview
broadcast on state television, promised to punish those found guilty.
Newly discovered cabinet papers show that British agencies, including MI6, had
supported Islamic guerrillas and other dissident groups in an effort to
destabilise Sukarno. The disorder fostered by the British led to General Suharto?s
takeover and dictatorship, and a wave of violence unseen since the Second World
War. The massacre set the stage for almost 35 years of violent suppression,
including the 1975 invasion of East Timor, which was only reversed last year.
The cabinet documents (which are separate from the revelations of Reddaway) were
uncovered by David Easter, a historian at the London School of Economics. His
research ? which is published this week in the journal Intelligence and National
Security ? shows that the cabinet?s defence and overseas policy committee asked
the head of MI6, Dick White, to draw up plans for covert operations against
Indonesia in January 1964. According to Dr Easter, these operations began in the
spring of that year and included supplying arms to separatists in the Indonesian
provinces of Aceh and Sulawesi.
These actions were complemented by a propaganda campaign run out of Britain?s
Far East HQ in Singapore by the IRD, which had close connections with MI6. The
unit was behind stories that Sukarno and his tolerance of the Indonesian
Communist Party (PKI) would lead to a communist dictatorship in Indonesia.
Reddaway was a key part of this. His letter, written in July 1966, was released
to Churchill College, Cambridge, which holds the private papers of Sir Andrew
Gilchrist.
Last night, Lord Healey owned up to the Foreign Office misinformation campaign.
Lord Healey said: "Norman Reddaway had an office in Singapore. They began to put
out false information and I think that, to my horror on one occasion, they put
forged documents on the bodies of Indonesian soldiers we had taken. I confronted
Reddaway over this.
"The key thing here is that Indonesia was infiltrating its troops into Borneo
and had organised a coup against the Sultan of Brunei with whom we had a treaty.
So we reacted similarly. I think it has been long known that British Special
Forces ? the SAS, SBS and Gurkhas ? were used to tackle the Indonesians. But
everything was done on the ground. I would not let the RAF drop a single bomb
although they were very anxious to get involved."
Lord Healey denied any personal knowledge of the wider MI6 campaign to arm
opponents of Sukarno. But, he added: "I would certainly have supported it."
According to one of the country?s leading commentators on security matters ?
Richard Aldrich, a professor at Nottingham University ?the episode shows Britain?s
post-war operations at their most effective. "It represents one of the supreme
achievements of the British clandestine services," he said. "In contrast with
the American CIA, they remained politically accountable and low-key. Britain has
a preference for bribingpeople rather than blowing them up."
Bung Karno di Tengah Jepitan CIA
TANGGAL 7 Desember 1957, pukul 19.39, Laksamana Felix Stump, panglima tertinggi Angkatan Laut (AL) AS di Pasifik, menerima perintah melalui radiogram dari Kepala Operasi Angkatan Laut (AL) Laksamana Arleigh Burke. Isinya, dalam empat jam ke depan gugus satuan tugas di Teluk Subic, Filipina,bergerak menuju selatan ke perairan Indonesia."Keadaan di Indonesia akan menjadi lebih kritis," demikian salah satu kalimat dalam radiogram tersebut. Kesibukan luar biasa segera terlihat di pangkalan AL AS. Malam itu juga satuan tugas dengan kekuatan satu divisi kapal perusak, dipimpin kapal penjelajah Pricenton, bergerak mengangkut elemen tempur dari Divisi Marinir III dan sedikitnya 20 helikopter. "Berangkatkan pasukan, kapal penjelajah dan kapal perusak dengan kecepatan 20 knots, yang lainnya dengan kecepatan penuh. Jangan berlabuh di pelabuhan mana pun," bunyi perintah Laksamana Burke.Inilah keadaan paling genting, yang tidak sepenuhnya diketahui rakyat Indonesia. Perpecahan dalam tubuh Angkatan Darat, antara mereka yang pro dan kontra Jenderal Nasution, serta yang tidak menyukai Presiden Soekarno, mencapai titik didih. Pada saat yang sama, beragam partai politik ikut terbelah memperebutkan kekuasaan. Kabinet jatuh bangun. Usianya rata-rata hanya 11 bulan. Paling lama bertahan hanyalah Kabinet Juanda (23 bulan), yang merupakan koalisi PNI-NU. Situasi memanas menjalar ke daerah, benteng terakhir para elite politik di pusat. Daerah terus bergolak. Pembangkangan terhadap Jakarta dimulai sejak militer menyelundupkan karet, kopra, dan hasil bumi lainnya. Militer Indonesia yang lahir dan berkembang dari milisi berdasarkan orientasi ideologi pimpinannya, bukanlah jenis pretorian. Mereka tetap kepanjangan dari parpol, entah itu PNI, PSI, Masyumi, PKI, dan seterusnya. Terlalu kekanak-kanakan jika dikatakan tindakan sekelompok perwira mengepung Istana Bogor dan mengarahkan meriam pada 17 Oktober 1952 sebagai ekspresi ketidakpuasan semata, dan bukan percobaan "kudeta" terselubung. Demikian pula ketika Kolonel Zulkifli Lubis mencoba menguasai Jakarta, sebelum kemudian merencanakan pembunuhan atas Presiden Soekarno dalam Peristiwa Cikini, dengan eksekutor keponakan pimpinan salah satu parpol. Bagi Gedung Putih, inilah saat tepat melaksanakan rencana tahap III, yaitu intervensi militer terbuka ke wilayah RI. Presiden Soekarno harus tamat segera. CIA di bawah Allen Dulles telah mematangkan situasi. Melalui jaringannya di Singapura, Jakarta, dan London, sebagaimana dikemukakan Audrey R Kahin dan George McT Kahin dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Subversi Sebagai Politik Luar Negeri, agen-agen CIA berulang kali melakukan kontak khusus dengan Sumitro Djojohadikusumo, pencari dana untuk pemberontakan tersebut. Demikian pula dengan para perwira pembangkang seperti Kolonel Simbolon, Kolonel Fence Sumual, dan sejumlah perwira dan tokoh parpol lainnya. Namun, ketika perintah menggerakkan elemen Armada VII dikeluarkan, keputusan itu tampak tergesa-gesa yaitu kurang dua jam setelah pembicaraan melalui telepon antara Presiden Eisenhower dengan Menlu John Foster Dulles. Itu sebabnya ketika gugus tugas AL di Teluk Subic bergerak, barulah kedua tokoh ini sadar atas alasan apa intervensi nantinya dilakukan. Pemerintah Inggris, sekutu terdekat AS, sempat terperanjat dan menolaknya, sehingga kapal-kapal perang tersebut kembali ke pangkalannya. Namun, setelah lobi-lobi intensif, tanggal 23 Desember 1957 PM Harold Macmillan menyetujuinya dan membentuk kerja sama operasi untuk Indonesia. *** PERTENGAHAN tahun 1958 Gedung Putih akhirnya harus mengakui kegagalannya "menegakkan demokrasi" dan "membendung komunisme" di Indonesia.
Baca Selengkapanya :
Copy Aja Link ini :
http://images.madruhi.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SZOzbwoKCDgAADtl0SI1/3ea32b8b-4363-651a.pdf?key=madruhi:journal:129&nmid=198454759
Copy Aja Link ini :
http://images.madruhi.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SZOzbwoKCDgAADtl0SI1/3ea32b8b-4363-651a.pdf?key=madruhi:journal:129&nmid=198454759
Suharto dan Tujuh Jenderal Korban G30S
Penulis : Harsutejo
PERTAMA-TAMA perlu kita simak bagaimana hubungan Mayjen Suharto dengan ketujuh
jenderal rekannya yang kemudian menjadi target pembunuhan G30S. Menurut Letkol
Untung mereka tergabung dalam Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap
Presiden Sukarno. Jenderal Nasution luput dari percobaan penculikan dan
pembunuhan, sedang enam jenderal yang lain yang terbunuh, Letjen Ahmad Yani,
Mayjen Suprapto, Mayjen S Parman, Mayjen Haryono MT, Brigjen Sutoyo, Brigjen
Panjaitan.
Ketika Kolonel Suharto menjabat sebagai Panglima Diponegoro, ia dikenal sebagai
sponsor penyelundupan dan berbagai tindak pelanggaran ekonomi lain dengan dalih
untuk kesejahteraan anak buahnya. Suharto membentuk geng dengan sejumlah
pengusaha seperti Lim Siu Liong, Bob Hasan, dan Tek Kiong, konon masih saudara
tirinya. Dalam hubungan ini Kolonel Suharto dibantu oleh Letkol Munadi, Mayor
Yoga Sugomo, dan Mayor Sujono Humardani. Komplotan bisnis ini telah bertindak
jauh antara lain dengan menjual 200 truk AD selundupan kepada Tek Kiong.
Persoalannya dilaporkan kepada Letkol Pranoto Reksosamudro yang ketika itu
menjabat sebagai Kepala Staf Diponegoro, bawahan Suharto. Maka MBAD membentuk
suatu tim pemeriksa yang diketuai Mayjen Suprapto dengan anggota S Parman, MT
Haryono, dan Sutoyo. Langkah ini diikuti oleh surat perintah Jenderal Nasution
kepada Jaksa Agung Sutarjo dalam rangka pemberantasan korupsi untuk menjemput
Kolonel Suharto agar dibawa ke Jakarta pada 1959. Ia akhirnya dicopot sebagai
Panglima Diponegoto dan digantikan oleh Pranoto. Kasus Suharto tersebut akhirnya
dibekukan karena kebesaran hati Presiden Sukarno (D&R, 3 Oktober 1998:18).
Nasution mengusulkan agar Suharto diseret ke pengadilan militer, tetapi tidak
disetujui oleh Mayjen Gatot Subroto. Kemudian ia dikirim ke Seskoad di Bandung.
Suharto sendiri dalam otobiografinya mencatat persoalan itu sebagai menolong
rakyat Jawa Tengah dari kelaparan, maka ia mengambil prakarsa untuk melakukan
barter gula dengan beras dari Singapura (Soeharto 1989:92). Ia tidak menyinggung
sama sekali adanya tim penyelidik dari MBAD. Selanjutnya ketika Suharto hendak
ditunjuk sebagai Ketua Senat Seskoad, hal itu ditentang keras oleh Brigjen
Panjaitan dengan alasan moralitas (Detak, 5 Oktober 1998:5), artinya moral
Suharto sebagai manusia, apalagi sebagai prajurit, tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Silang pendapat dengan Jenderal Yani lebih serius, hal itu bersangkutan dengan
bagaimana seharusnya peranan Kostrad dengan merujuk sejarah Kostrad (Crouch 1999:104).
Demikianlah sedikit banyak Suharto memiliki pengalaman pribadi yang tidak
menyenangkan dengan ke tujuh rekannya tersebut dalam perjalanan kariernya.
Selama 32 tahun kekuasaannya para anggota geng Suharto mendapatkan tempat
terhormat yang setimpal, sebaliknya dengan lawan-lawannya termasuk Jenderal
Nasution setelah dicopot sebagai ketua MPRS dan juga dengan Mayjen Pranoto yang
kemudian ditahan bertahun-tahun tanpa proses. Perkembangan sejarah menunjukkan
bahwa Suharto benar-benar tidak ?sebodoh? yang diperkirakan Jenderal Nasution,
juga tidak sekedar koppig seperti yang disebut oleh Bung Karno.
Jenderal Suharto dan Jenderal Suwarto
Di Bandung Kolonel Suharto bertemu dengan Kolonel Suwarto, Wadan Seskoad, hal
ini sangat berpengaruh terhadap perjalanan hidup Suharto selanjutnya. Sekolah
Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung yang telah berdiri sejak 1951 ini
merupakan sebuah think tank AD, pendidikan militer Indonesia tertua, terbesar
dan paling berpengaruh. Seskoad telah menjadi tempat penggodogan perkembangan
doktrin militer di Indonesia. Sampai 1989 telah meluluskan 3500 perwira. Para
alumninya menjadi tokoh terkemuka dalam pemerintahan. Hampir 100 orang menjadi
sekretaris jenderal, gubernur, pimpinan lembaga-lembaga nasional atau badan-badan
non departemental. Presiden, Wakil Presiden, dan lebih 30 menteri merupakan
alumni Seskoad.
Suwarto sendiri pernah menempuh pendidikan Infantry Advance Course di Fort
Benning pada 1954 dan Command and General Staff College di Fort Leavenworth, AS
pada 1958. Ia bersahabat dengan Prof Guy Pauker, konsultan RAND (Research and
Development Corporation) yang dikunjunginya pada 1963 dan 1966. Suwartolah yang
menjadikan Seskoad sebagai think tank politik MBAD, mengarahkan para perwira AD
menjadi pemimpin politik potensial (Sundhaussen 1988:245).
Seskoad memancarkan pamornya sebagian besar karena jasa Suwarto, sangat besar
perannya dalam perkembangan politik. Karena jasanya pula maka Seskoad menjadi
pusat pemikiran politik serta menghadapi perkembangan PKI (Hidayat Mukmin 1991:125).
Guy Pauker adalah pengamat masalah Asia, orang penting dalam Rand Corporation,
kelompok pemikir (think tank) CIA*. Sejak itu Seskoad biasa disebut sebagai
negara dalam negara, membuat garis politiknya sendiri, bahkan mempunyai
perjanjian kerjasama dan bantuan dari AS terlepas dari politik pemerintah RI.
Suharto, murid baru yang masuk pada Oktober 1959 ini telah mendapatkan perhatian
besar dari sang guru. Pada awal 1960-an Suharto dilibatkan dalam penyusunan
Doktrin Perang Wilayah serta dalam kebijaksanaan AD dalam segala segi kegiatan
pemerintah dan tugas kepemerintahan. Peran Suharto dalam civic mission
menempatkan dirinya dan sejumlah opsir yang condong pada PSI dalam pusat
pendidikan dan pelatihan yang disokong oleh CIA lewat pemerintah AS, suatu
program bersifat politik (Scott 1999:81). Pada masa Bandung Kolonel Suharto
inilah agaknya hubungan Suwarto-Syam-Suharto-CIA mendapatkan dimensi baru (Hanafi
1998:20-25).
Penyempurnaan Doktrin Perang Wilayah dan civic mission menjadi suatu doktrin
strategis intervensi politik AD menjelang 1965, suatu proses ideologis
mempersiapkan dan mematangkan AD dalam melakukan pengoperan kekuasaan.
Perkembangan selanjutnya, Jenderal Suwarto menjadi orang penting sebagai
penasehat politik Jenderal Suharto. Doktrin tersebut yang mewarnai pernyataan
Jenderal Suharto pada 16 Agustus 1966 untuk memenuhi desakan Pauker bahwa AD
harus memainkan peran kepeloporan di semua bidang (Scott 1999:82).
Dalam sambutannya ketika melantik Letjen Panggabean menjadi Wapangad pada hari
tersebut, Jenderal Suharto mengatakan bahwa pengesahan Supersemar oleh MPRS
berarti penugasan pemerintahan dengan ruang lingkup luas. Hal itu merupakan
penghargaan dan kepercayaan kepada ABRI umumnya dan AD khususnya. Doktrin Tri
Ubaya Cakti yang telah menegaskan tuntutan AD untuk memiliki peran politik
mandiri disusun kembali oleh Jenderal Suwarto dan mengenai peran AD ditegaskan
lebih lanjut seperti penekanan Pauker dalam peran kontra revolusionernya (Scott
1999:82-83). Dengan belajar dari Rand Corporation kemudian Ali Murtopo cs dengan
restu Suharto mendirikan lembaga kajian yang disebut CSIS (Centre for Strategic
and International Studies) sebagai think tank Orde Baru. (Bersambung)
* Rand Corporation didirikan pada 1948, mula-mula sebagai think tank AU Amerika
(USAF) kemudian meluas bagi pemerintah AS. Kajian yang dilakukannya di samping
masalah-masalah militer juga meliputi masalah politik, sosial, ekonomi, budaya,
hubungan internasional, kekuatan-kekuatan lokal-regional-global. Kaki mereka
berpijak pada pemerintah AS (CIA), lembaga pendidikan tinggi, dan perusahaan-perusahaan
industri raksasa. Badan ini melakukan kontak dan hubungan informal termasuk
dengan Seskoad di Bandung (Lihat Harry Tjan Silalahi ?Think Tank? dalam CSIS
Sekar Semerbak, Kenangan Untuk Ali Moertopo, Yayasan Proklamasi CSIS, Jakarta,
1985:334-341).
Sumber ip : Rakyat Merdeka, Rabu, 17 Mei 2006, dari Serie, Jejak Hitam Suharto.
Penulis : Harsurejo.
PERTAMA-TAMA perlu kita simak bagaimana hubungan Mayjen Suharto dengan ketujuh
jenderal rekannya yang kemudian menjadi target pembunuhan G30S. Menurut Letkol
Untung mereka tergabung dalam Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap
Presiden Sukarno. Jenderal Nasution luput dari percobaan penculikan dan
pembunuhan, sedang enam jenderal yang lain yang terbunuh, Letjen Ahmad Yani,
Mayjen Suprapto, Mayjen S Parman, Mayjen Haryono MT, Brigjen Sutoyo, Brigjen
Panjaitan.
Ketika Kolonel Suharto menjabat sebagai Panglima Diponegoro, ia dikenal sebagai
sponsor penyelundupan dan berbagai tindak pelanggaran ekonomi lain dengan dalih
untuk kesejahteraan anak buahnya. Suharto membentuk geng dengan sejumlah
pengusaha seperti Lim Siu Liong, Bob Hasan, dan Tek Kiong, konon masih saudara
tirinya. Dalam hubungan ini Kolonel Suharto dibantu oleh Letkol Munadi, Mayor
Yoga Sugomo, dan Mayor Sujono Humardani. Komplotan bisnis ini telah bertindak
jauh antara lain dengan menjual 200 truk AD selundupan kepada Tek Kiong.
Persoalannya dilaporkan kepada Letkol Pranoto Reksosamudro yang ketika itu
menjabat sebagai Kepala Staf Diponegoro, bawahan Suharto. Maka MBAD membentuk
suatu tim pemeriksa yang diketuai Mayjen Suprapto dengan anggota S Parman, MT
Haryono, dan Sutoyo. Langkah ini diikuti oleh surat perintah Jenderal Nasution
kepada Jaksa Agung Sutarjo dalam rangka pemberantasan korupsi untuk menjemput
Kolonel Suharto agar dibawa ke Jakarta pada 1959. Ia akhirnya dicopot sebagai
Panglima Diponegoto dan digantikan oleh Pranoto. Kasus Suharto tersebut akhirnya
dibekukan karena kebesaran hati Presiden Sukarno (D&R, 3 Oktober 1998:18).
Nasution mengusulkan agar Suharto diseret ke pengadilan militer, tetapi tidak
disetujui oleh Mayjen Gatot Subroto. Kemudian ia dikirim ke Seskoad di Bandung.
Suharto sendiri dalam otobiografinya mencatat persoalan itu sebagai menolong
rakyat Jawa Tengah dari kelaparan, maka ia mengambil prakarsa untuk melakukan
barter gula dengan beras dari Singapura (Soeharto 1989:92). Ia tidak menyinggung
sama sekali adanya tim penyelidik dari MBAD. Selanjutnya ketika Suharto hendak
ditunjuk sebagai Ketua Senat Seskoad, hal itu ditentang keras oleh Brigjen
Panjaitan dengan alasan moralitas (Detak, 5 Oktober 1998:5), artinya moral
Suharto sebagai manusia, apalagi sebagai prajurit, tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Silang pendapat dengan Jenderal Yani lebih serius, hal itu bersangkutan dengan
bagaimana seharusnya peranan Kostrad dengan merujuk sejarah Kostrad (Crouch 1999:104).
Demikianlah sedikit banyak Suharto memiliki pengalaman pribadi yang tidak
menyenangkan dengan ke tujuh rekannya tersebut dalam perjalanan kariernya.
Selama 32 tahun kekuasaannya para anggota geng Suharto mendapatkan tempat
terhormat yang setimpal, sebaliknya dengan lawan-lawannya termasuk Jenderal
Nasution setelah dicopot sebagai ketua MPRS dan juga dengan Mayjen Pranoto yang
kemudian ditahan bertahun-tahun tanpa proses. Perkembangan sejarah menunjukkan
bahwa Suharto benar-benar tidak ?sebodoh? yang diperkirakan Jenderal Nasution,
juga tidak sekedar koppig seperti yang disebut oleh Bung Karno.
Jenderal Suharto dan Jenderal Suwarto
Di Bandung Kolonel Suharto bertemu dengan Kolonel Suwarto, Wadan Seskoad, hal
ini sangat berpengaruh terhadap perjalanan hidup Suharto selanjutnya. Sekolah
Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung yang telah berdiri sejak 1951 ini
merupakan sebuah think tank AD, pendidikan militer Indonesia tertua, terbesar
dan paling berpengaruh. Seskoad telah menjadi tempat penggodogan perkembangan
doktrin militer di Indonesia. Sampai 1989 telah meluluskan 3500 perwira. Para
alumninya menjadi tokoh terkemuka dalam pemerintahan. Hampir 100 orang menjadi
sekretaris jenderal, gubernur, pimpinan lembaga-lembaga nasional atau badan-badan
non departemental. Presiden, Wakil Presiden, dan lebih 30 menteri merupakan
alumni Seskoad.
Suwarto sendiri pernah menempuh pendidikan Infantry Advance Course di Fort
Benning pada 1954 dan Command and General Staff College di Fort Leavenworth, AS
pada 1958. Ia bersahabat dengan Prof Guy Pauker, konsultan RAND (Research and
Development Corporation) yang dikunjunginya pada 1963 dan 1966. Suwartolah yang
menjadikan Seskoad sebagai think tank politik MBAD, mengarahkan para perwira AD
menjadi pemimpin politik potensial (Sundhaussen 1988:245).
Seskoad memancarkan pamornya sebagian besar karena jasa Suwarto, sangat besar
perannya dalam perkembangan politik. Karena jasanya pula maka Seskoad menjadi
pusat pemikiran politik serta menghadapi perkembangan PKI (Hidayat Mukmin 1991:125).
Guy Pauker adalah pengamat masalah Asia, orang penting dalam Rand Corporation,
kelompok pemikir (think tank) CIA*. Sejak itu Seskoad biasa disebut sebagai
negara dalam negara, membuat garis politiknya sendiri, bahkan mempunyai
perjanjian kerjasama dan bantuan dari AS terlepas dari politik pemerintah RI.
Suharto, murid baru yang masuk pada Oktober 1959 ini telah mendapatkan perhatian
besar dari sang guru. Pada awal 1960-an Suharto dilibatkan dalam penyusunan
Doktrin Perang Wilayah serta dalam kebijaksanaan AD dalam segala segi kegiatan
pemerintah dan tugas kepemerintahan. Peran Suharto dalam civic mission
menempatkan dirinya dan sejumlah opsir yang condong pada PSI dalam pusat
pendidikan dan pelatihan yang disokong oleh CIA lewat pemerintah AS, suatu
program bersifat politik (Scott 1999:81). Pada masa Bandung Kolonel Suharto
inilah agaknya hubungan Suwarto-Syam-Suharto-CIA mendapatkan dimensi baru (Hanafi
1998:20-25).
Penyempurnaan Doktrin Perang Wilayah dan civic mission menjadi suatu doktrin
strategis intervensi politik AD menjelang 1965, suatu proses ideologis
mempersiapkan dan mematangkan AD dalam melakukan pengoperan kekuasaan.
Perkembangan selanjutnya, Jenderal Suwarto menjadi orang penting sebagai
penasehat politik Jenderal Suharto. Doktrin tersebut yang mewarnai pernyataan
Jenderal Suharto pada 16 Agustus 1966 untuk memenuhi desakan Pauker bahwa AD
harus memainkan peran kepeloporan di semua bidang (Scott 1999:82).
Dalam sambutannya ketika melantik Letjen Panggabean menjadi Wapangad pada hari
tersebut, Jenderal Suharto mengatakan bahwa pengesahan Supersemar oleh MPRS
berarti penugasan pemerintahan dengan ruang lingkup luas. Hal itu merupakan
penghargaan dan kepercayaan kepada ABRI umumnya dan AD khususnya. Doktrin Tri
Ubaya Cakti yang telah menegaskan tuntutan AD untuk memiliki peran politik
mandiri disusun kembali oleh Jenderal Suwarto dan mengenai peran AD ditegaskan
lebih lanjut seperti penekanan Pauker dalam peran kontra revolusionernya (Scott
1999:82-83). Dengan belajar dari Rand Corporation kemudian Ali Murtopo cs dengan
restu Suharto mendirikan lembaga kajian yang disebut CSIS (Centre for Strategic
and International Studies) sebagai think tank Orde Baru. (Bersambung)
* Rand Corporation didirikan pada 1948, mula-mula sebagai think tank AU Amerika
(USAF) kemudian meluas bagi pemerintah AS. Kajian yang dilakukannya di samping
masalah-masalah militer juga meliputi masalah politik, sosial, ekonomi, budaya,
hubungan internasional, kekuatan-kekuatan lokal-regional-global. Kaki mereka
berpijak pada pemerintah AS (CIA), lembaga pendidikan tinggi, dan perusahaan-perusahaan
industri raksasa. Badan ini melakukan kontak dan hubungan informal termasuk
dengan Seskoad di Bandung (Lihat Harry Tjan Silalahi ?Think Tank? dalam CSIS
Sekar Semerbak, Kenangan Untuk Ali Moertopo, Yayasan Proklamasi CSIS, Jakarta,
1985:334-341).
Sumber ip : Rakyat Merdeka, Rabu, 17 Mei 2006, dari Serie, Jejak Hitam Suharto.
Penulis : Harsurejo.
[ mikrotik how-to ] Mikrotik Dengan 2 ISP ( non fail over )
Kasus ini terjadi di kantor saya dimana didalam LAN terdapat berbagai macam client, antara lain Internal ( staff perusahaan ) dan Management ( kelompok managemen ).
Walaupun berada dalam satu jaringan fisik, namun mereka berada pada sub net yang berbeda :
Internal = 192.168.0.0/24
Management = 192.168.1.0/24
Sekarang timbul permasalahan saat pihak management meminta akses Internet dari ISP yang berbeda dengan kapasitas yang berbeda pula. Sebelumnya adalah menggunakan satu ISP saja. Penggabungan Dua ISP ini tidak menggunakan metode FAIL OVER.
Akhirnya saya putuskan untuk memasang tambahan 1 LAN Card pada router menjadi 3 LAN Card dari sebelumnya hanya 2 LAN Card saja :
eth1 = xx.xx.xx.xx/xx ( ISP 1 )
eth2 = 192.168.0.0/24 ( LAN Internel )
eth2 = 192.168.1.0/24 ( LAN Management )
eth3 = yy.yy.yy.yy/yy ( ISP 2 )
keterangan.
eth2 di set duplicate IP untuk menggabung jaringan LAN pada jaringan fisik yang sama.
Setting Dua ISP pada mikrotik saya temukan pada blog Jauh Dimata dengan sedikit modifikasi penyesuaian. Source asli dapat dilihat di sini.
Berikut langkah – langkah setting :
1. Set IP pada eth1 ( ISP 1 )
/ip address add address=xx.xx.xx.xx/xx interface=eth1
2. Set IP pada eth2 ( LAN Internal )
/ip address add address=192.168.0.1/24 interface=eth2
3. Set IP pada eth2 ( LAN Management )
/ip address add address=192.168.1.1/24 interface=eth2
4. Set IP pada eth3 ( ISP 2 )
/ip address add address=yy.yy.yy.yy/yy interface=eth3
5. Setting Gateway Utama ( gateway dari ISP 1 )
/ip route add gateway=xxx.xxx.xxx.xxx/xx routing-mark=LB-RM check-gateway=ping
6. Setting Gateway Kedua ( gateway dari ISP 2 )
/ip route add gateway=yyy.yyy.yyy.yyy/yy
7. Memberi tanda pada routing dari LAN Internal ( 192.168.0.0/24 ) agar menggunakan Gateway Utama
/ip firewall mangle add chain=prerouting src-address=192.168.0.0/24 action=mark-routing new-routing-mark=LB-RM
8. Setting Masquerade pada eth2 untuk jaringan LAN Internal agar jalur Internet via ISP 1 di eth1
/ip firewall nat add chain=srcnat out-interface=ether1 src-address=192.168.0.0/24 action=masquerade
9. Setting Masquerade pada eth2 untuk jaringan LAN Management agar jalur Internet via ISP 2 di eth3
chain=srcnat out-interface=ether3 src-address=192.168.1.0/24 action=masquerade
Saat saya coba teknik ini, internet berjalan normal di kedua subnet, begitu juga dengan check ip public yang berjalan pada masing – masing sub net saat akses internet sudah sesuai.
IP ISP 1 = xx.xx.xx.xx pada subnet LAN Internal
IP ISP 2 = yy.yy.yy.yy pada subnet LAN Management
Untuk mengetahui IP Public yang kita gunakan saat melakukan akses pada Internet seperti uji coba diatas, anda dapat menggunakan Tool What My IP Is
Saya sendiri belum yakin akan benar atau salahnya teknik ini, tapi setidak – tidaknya akses internet berjalan normal dan sesuai dengan keiginan kami.
Untuk sesepuh senior, mohon pencerahan. CMIIW :D
Walaupun berada dalam satu jaringan fisik, namun mereka berada pada sub net yang berbeda :
Internal = 192.168.0.0/24
Management = 192.168.1.0/24
Sekarang timbul permasalahan saat pihak management meminta akses Internet dari ISP yang berbeda dengan kapasitas yang berbeda pula. Sebelumnya adalah menggunakan satu ISP saja. Penggabungan Dua ISP ini tidak menggunakan metode FAIL OVER.
Akhirnya saya putuskan untuk memasang tambahan 1 LAN Card pada router menjadi 3 LAN Card dari sebelumnya hanya 2 LAN Card saja :
eth1 = xx.xx.xx.xx/xx ( ISP 1 )
eth2 = 192.168.0.0/24 ( LAN Internel )
eth2 = 192.168.1.0/24 ( LAN Management )
eth3 = yy.yy.yy.yy/yy ( ISP 2 )
keterangan.
eth2 di set duplicate IP untuk menggabung jaringan LAN pada jaringan fisik yang sama.
Setting Dua ISP pada mikrotik saya temukan pada blog Jauh Dimata dengan sedikit modifikasi penyesuaian. Source asli dapat dilihat di sini.
Berikut langkah – langkah setting :
1. Set IP pada eth1 ( ISP 1 )
/ip address add address=xx.xx.xx.xx/xx interface=eth1
2. Set IP pada eth2 ( LAN Internal )
/ip address add address=192.168.0.1/24 interface=eth2
3. Set IP pada eth2 ( LAN Management )
/ip address add address=192.168.1.1/24 interface=eth2
4. Set IP pada eth3 ( ISP 2 )
/ip address add address=yy.yy.yy.yy/yy interface=eth3
5. Setting Gateway Utama ( gateway dari ISP 1 )
/ip route add gateway=xxx.xxx.xxx.xxx/xx routing-mark=LB-RM check-gateway=ping
6. Setting Gateway Kedua ( gateway dari ISP 2 )
/ip route add gateway=yyy.yyy.yyy.yyy/yy
7. Memberi tanda pada routing dari LAN Internal ( 192.168.0.0/24 ) agar menggunakan Gateway Utama
/ip firewall mangle add chain=prerouting src-address=192.168.0.0/24 action=mark-routing new-routing-mark=LB-RM
8. Setting Masquerade pada eth2 untuk jaringan LAN Internal agar jalur Internet via ISP 1 di eth1
/ip firewall nat add chain=srcnat out-interface=ether1 src-address=192.168.0.0/24 action=masquerade
9. Setting Masquerade pada eth2 untuk jaringan LAN Management agar jalur Internet via ISP 2 di eth3
chain=srcnat out-interface=ether3 src-address=192.168.1.0/24 action=masquerade
Saat saya coba teknik ini, internet berjalan normal di kedua subnet, begitu juga dengan check ip public yang berjalan pada masing – masing sub net saat akses internet sudah sesuai.
IP ISP 1 = xx.xx.xx.xx pada subnet LAN Internal
IP ISP 2 = yy.yy.yy.yy pada subnet LAN Management
Untuk mengetahui IP Public yang kita gunakan saat melakukan akses pada Internet seperti uji coba diatas, anda dapat menggunakan Tool What My IP Is
Saya sendiri belum yakin akan benar atau salahnya teknik ini, tapi setidak – tidaknya akses internet berjalan normal dan sesuai dengan keiginan kami.
Untuk sesepuh senior, mohon pencerahan. CMIIW :D
Langganan:
Postingan (Atom)